Ikhwah dan akhwat fillah, semoga Allah azza wa jalla merahmati kami dan anda semua. Tiada hentinya kita panjatkan syukur kepada Allah azza wa jalla atas segala karunia yang dilimpahkan pada kita. Mari senantiasa kita memanfaatkan kenikmatan Allah azza wa jalla dalam
rangka memperbaiki diri kita, karena banyak hal yang masih perlu
diperbaiki dari berbagai kekurangan dalam menunaikan kewajiban. Juga
memperbaiki berbagai kesalahan yang kita lakukan, yang mana itu dapat
mengundang murka Allah azza wa jalla.
Kenikmatan Allah azza wa jalla
khususnya kenikmatan sunnah adalah nikmat yang sangat besar, yang
Allah berikan hanya pada segelintir manusia. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Dari ayat ini jelas bahwa kebanyakan manusia mengajak pada kesesatan. Dan Allah azza wa jalla berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)
Maknanya,
semakin sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman, bahkan
kebanyakan mereka masih ternodai dengan kesyirikan. Maka pada yang
sedikit inilah, sebagaimana yang Allah nyatakan tersebut, mudah-mudahan
kita termasuk dalam orang-orang yang Allah kecualikan tersebut. Yaitu
yang senantiasa sesuai bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak-perilaku kita. Begitulah
kenikmatan dari Allah dalam Islam dan dalam sunnah, merupakan
kenikmatan yang tiada tandingannya.
Berpegang Teguh pada Bimbingan Islam
Islam telah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai kodrat, harkat dan martabat manusia. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberi tuntunan kepada kita, khususnya dalam masalah muamalah
suami-istri atau hubungan rumah tangga. Inilah hubungan yang merupakan
lingkup kecil dalam masyarakat manusia, yang mana tatkala dalam lingkup
kecil ini baik maka baiklah lingkup yang lebih besar. Semua ini
berangkat dari rumah tangga yang masing-masing kita punya tanggungjawab
di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, awal mula tanggungjawab dakwah beliau tunaikan mulai kepada keluarga, sebagaimana perintah Allah :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)
Tanggung
jawab ini mesti kita pahami dengan skala prioritas yang sesuai
tuntunan agama, bukan oleh hawa nafsu dan kepentingan lainnya.
Terkadang karena ada kepentingan maka orang lain lebih didahulukan
daripada keluarganya. Ini sering terjadi, bahkan dalam masalah infak,
atau dalam urusan memberi kebaikan. Padahal semestinya keluarga dan
kerabat didahulukan daripada yang lainnya. Manakala kepedulian dan
tanggung jawab ini dimulai dari suatu keluarga dengan saling memahami,
maka insya Allah akan terjalin suatu masyarakat yang indah sekali.
Ada suatu kisah dari teladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau membimbing untuk mengutamakan kerabat dalam hal kebaikan.
عَنْ
كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيدَةً وَلَمْ
تَسْتَأْذِنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ
يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ قَالَتْ أَشَعَرْتَ يَا
رَسُولَ اللهِ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ
نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ
أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
Dari
Kuraib Maula Ibnu Abbas bahwasanya Maimuna binti Al-Harits
memberitahukan kepadanya bahwa ia telah memerdekakan seorang budak
tanpa meminta izin kepada Rasulullah. Maka ketika tiba waktu Rasulullah
menggilirnya, Maimunah berkata, “Apakah engkau tahu wahai Rasulullah,
bahwa aku telah memerdekakan budakku?” Beliau berkata, “Apakah memang sudah engkau merdekakan?” Maimunah berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Sesungguhnya kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu maka itu lebih besar pahalanya untukmu.” (HR. Bukhari)
Yaitu
dengan memberi kebaikan berupa sadaqah kepada kerabat sekaligus adalah
amalan menyambung kekerabatan. Inilah tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberi yang terbaik bagi kerabat.
Allah
ta’ala telah mengajarkan bagaimana hak suami, kewajiban suami, hak
istri, dan kewajiban istri. Semua telah ada tuntunannya dalam Islam.
Jika ini semua terbolak-balik maka akan terjadi kekacauan dan
ketidaktentraman. Maka itu jadilah istri yang terdidik dengan didikan
sunnah. Bagaimanapun kedudukannya, seperti nasabnya yang mulia,
keluarganya yang kaya raya, akan tetapi hendaknya tetap bisa
menempatkan diri sesuai posisinya sebagai istri.
Ada banyak contoh dalam masyarakat yang indah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bagaimana pahamnya mereka dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dari kalangan perempuan di antara mereka. Rasanya jauh dibandingkan keadaan masa kita ini.
Salah satunya seperti kisah masyhur seorang jariyah.
عََنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ جَارِيَةٌ لِى صَكَكْتُهَا صَكَّةً. فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَىَّ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ
: « ائْتِنِى بِهَا ». قَالَ : فَجِئْتُ بِهَا قَالَ : « أَيْنَ اللَّهُ
». قَالَتْ : فِى السَّمَاءِ. قَالَ : « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ : أَنْتَ
رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ : « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ »
Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami. Ia berkata: Aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seorang budak perempuanku, telah aku pukul.” Rasulullah kemudian
menegurku dengan keras. Lalu aku katakan, “Apakah tidak sebaiknya aku
memerdekakannya?” Beliau berkata, “Bawalah ia kepadaku.” Mua’wiyah
mengatakan, “Aku pun membawanya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada
budak itu, “Di manakah Allah?” Ia menjawab, “Di atas langit.” Rasulullah
bertanya lagi, “Siapakah aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasul
Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Merdekakanlah ia karena ia seorang
perempuan yang beriman.” (HR. Muslim)
Padahal jariyah
adalah seorang budak perempuan yang kesehariannya bergelut dengan
kambing gembala, akan tetapi mereka kenal dengan Allah dan bertauhid
dengan benar.
Demikian juga kisah Barirah, seorang budak perempuan yang dimerdekakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu.
Ini telah diriwayatkan dalam suatu kisah panjang, yang mana para ulama
ada yang mengambil sampai seratus faidah dari kisah yang indah ini. Di
antaranya yang bisa kita ambil dalam kaitan pembahasan kita, tentang
kecerdasan Barirah dalam melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barirah yang telah bersuami itu dibebaskan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat cinta suaminya, Mughits, begitu besar. Mughits masih budak
sedangkan Barirah sudah merdeka. Dalam Islam, jika salah seorang suami
atau istri sudah merdeka, maka adalah hak bagi yang sudah merdeka apakah
mau meneruskan sebagai suami-istri atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat cintanya Mughits kepada Barirah, sampai-sampai diikutinya
terus ke mana Barirah pergi bahkan sambil menangis. Akan tetapi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat betapa bencinya Barirah kepada Mughits. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
iba, beliau berkata, “Wahai Barirah seandainya kamu kembali saja
kepada suamimu.” Barirah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau perintahkan
aku untuk kembali, ataukah sekedar memberi hiburan saja? Jika ini
perintah maka aku laksanakan walau aku tidak suka.”
Ini menunjukkan kepahaman dan ketaatan Barirah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dia bekas budak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ini hanya syafi’ saja.” Barirah berkata, “Aku tidak butuh lagi pada suamiku.”
Kemudian kisah lainnya, Fatimah binti Qais yang dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm. Fatimah berkata:
فَلَمَّا
حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَأَبَا
جَهْمٍ خَطَبَانِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ » .فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ.
“Maka ketika aku telah halal (selesai dari masa iddah –pent.) aku bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Adapun Abu Jahm, maka ia adalah orang yang suka memukul.”
Sedangkan Mu’awiyah, ia adalah seorang sho’luk yang tidak memiliki
harta. Menikahlah dengan Usamah.” Namun aku tidak menyukai Usamah.
Kemudian beliau berkata, “Menikahlah dengan Usamah.” Kemudian aku
menikah dengannya. Dan Allah menganugrahkan kebaikan pada dirinya
sehingga aku pun menyenanginya.” (HR. Muslim)
Karena Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan, maka Fatimah tetap melaksanakan. Ia yakin bahwa
apa yang diperintahkan, meskipun tidak menyenangkan, pasti mengandung
kebaikan. Karena tidak ada perintah dalam agama ini melainkan di
dalamnya ada kebaikan. Dan itu akhirnya diakui sendiri oleh Fatimah.
Setelah menikahi Usamah, dia menjadi yang paling cemburu kepada
suaminya. Dan banyak kebaikan lain yang didapatkannya.
Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya.
Keteguhan iman ini karena qowam suami, yang mendidik di atas sunnah. Laki-laki menjadi qowam
dengan karunia kelebihan yang Allah berikan, dan dengan nafkah yang
diberikan suami kepada istrinya. Manakala seorang muslimah memahami ini,
maka tidak akan terjadi apa yang banyak terjadi sekarang dengan
embel-embel emansipasi. Persamaan gender yang tiada lain ujung-ujungnya
adalah menuruti hawa nafsu. Ini hanyalah makar dari kaum kuffar Barat.
Kedudukan Suami Sebagai Qowam/Pemimpin
Allah
telah menyatakan bahwa laki-laki setingkat lebih tinggi dari wanita.
Ini adalah dalam urusan dunia, dan dalam hubungan suami istri.
Sedangkan dalam hal ketakwaan adalah tergantung ketakwaan
masing-masing. Ketika seorang istri memahami betul kedudukan seorang
suami, ini adalah bagian dari ketakwaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ ، لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau
saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain,
niscaya aku menyuruh para istri untuk bersujud kepada suami mereka.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Akan
diperintahkan demikian karena kedudukan seorang suami. Akan tetapi
kedudukan seperti ini adalah mandat dari Allah, yang didalamnya ada
tanggung jawab. Bukan sekedar posisi. Dalam kedudukan ini ada tanggung
jawab yang harus dipahami dengan baik. Allah memerintahkan suami untuk
menjaga keluarganya, anak dan istrinya. Demikian pula untuk mendidik
keluarga dengan baik dengan didikan sunnah. Semua ini adalah demi
menjaga apa yang diamanahkan Allah tersebut. Allah azza wa jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Maknanya,
jika anak dan istri tidak dididik dengan baik, maka itu seperti
menyiapkan anak dan istri menjadi bahan bakar api neraka. Di ayat lain
Allah berfrman:
وَلْيَخْشَ
الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ
عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)
Yaitu
kelemahan di dalam agamanya, dalam akidahnya, juga kelemahan dalam
dunia. Maka janganlah kalian tinggalkan keluarga dalam keadaan lemah
iman dan akidahnya. Dapat kita lihat bagaimana Sa’ad bin Abi Waqqas
saat Fathu Makkah, yang mana beliau sudah lemah dan sakit. Ia
menceritakan:
جَاءَنَا رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعُودُنِي مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي زَمَنَ
حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقُلْتُ بَلَغَ بِي مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ ،
وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ لِي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي
قَالَ : لاََ قُلْتُ بِالشَّطْرِ قَالَ : لاََ قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ
الثُّلُثُ كَثِيرٌ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً
تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا
تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ.
“Rasulullah
datang membesukku karena sakit keras yang aku derita saat haji wada’.
Aku berkata, “Keadaanku sudah sedemikian rupa sebagaimana yang engkau
lihat. Dan aku memiliki harta. Sedangkan yang mewarisi hartaku hanyalah
seorang anak perempuan. Maka apakah aku boleh bersedekah dengan dua
per tiga hartaku?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Dengan setengahnya?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Sepertiganya?” Beliau berkata, “Sepertiga
itu sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan menjadi
beban, meminta-minta kepada orang lain. Dan tidaklah engkau mengeluarkan
suatu nafkah dengan mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau akan
diberi ganjaran pahala karenanya. Sampai apa yang engkau suapkan ke
mulut istrimu sendiri.” (HR. Bukhari)
Ini
adalah dalam hal dunia, maka dalam hal akhirat lebih penting lagi.
Sebagaimana wasiat Luqman yang Allah abadikan dalam Al-Quran:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar”. (Luqman: 13)
Juga
wasiat para Nabi dari Nabi Ya’kub, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, dan
lainnya. Mereka tidak berkata, “Apa yang akan kalian makan
sepeninggalku nanti?” Allah berfirman:
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي
“Adakah
kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia
berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”" (Al-Baqarah: 133)
Allah berfirman:
فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً
“Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)
Ini
adalah tuntunan hendaknya suami mendidik istri dan anaknya jangan
sampai mereka menjadi bahan bakar api neraka. Pada ayat lain Allah
berfirman:
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui
kesesatan.” (Maryam: 59)
Penekanan
ayat ini adalah kepada para suami untuk memperhatikan anak keturunan,
terkhusus shalat sebagai parameternya. Karena jika shalat telah
disia-siakan maka akan diperturutkanlah hawa nafsu. Jika sudah hawa
nafsu yang diikuti maka kesesatanlah yang didapat. Ini adalah di antara
kewajiban suami agar memperhatikan kepada keluarganya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Artinya,
kedudukan yang Allah berikan itu ada pertangungjawabannya di akhirat.
Bukan sekedar posisi atau mandat. Dalam hal ini, kepemimpinan laki-laki
untuk bisa sampai kepada apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus meneladani Rasulullah.
Mungkin
sebagian dari kita ada yang membayangkan, nanti ingin mendapat suami
ideal yang meneladani Rasulullah. Atau mendapat istri ideal yang
meneladani para istri Rasulullah. Akan tetapi hendaknya kita sadar
bahwa kita manusia yang memiliki kelemahan. Keluarga kita bukanlah
seperti keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita hanya berupaya meniti jejak beliau dan mengikuti bimbingan beliau.
Para wanita kita tidaklah seperti Khadijah, Aisyah, para Ummahatul Mukminin. Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun kadang mengalami riak-riak permasalahan keluarga. Maka pada kita
lebih mungkin lagi terjadi permasalahan keluarga. Bahkan telah terjadi
banyak sekali problema dari kalangan kita sendiri (padahal sudah
mengenal sunnah). Maka itu perlu berlapang dada. Inilah yang perlu
disadari dan dipahami.
Mungkin saja
terjadi masalah, di mana si istri yang hanya seorang wanita biasa,
bersikap kurang ajar kepada suami. Padahal si istri sudah mulai
menuntut ilmu agama, akan tetapi bisa terjadi yang seperti ini. Hingga
terjadilah apa yang terjadi, sampai pada perceraian. Mungkin
permasalahan di antaranya adalah karena masalah tabiat, namun hendaknya
kita tetap berusaha memperbaiki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Ilmu itu dengan dipelajari.” (HR. Bukhari)
Oleh
karena itu akhlak bisa diperbaiki manakala kita berusaha, dengan
taufik dari Allah. Sebagaimana di antara Sahabat pun di kala jahiliyah
adalah manusia yang paling biadab, namun manakala masuk Islam, maka
mereka berubah menjadi manusia yang paling beradab. Begitu juga para
ulama. Ada di antara mereka yang sebelumnya adalah bermacam-macam.
Seperti Fudhail bin Iyadl yang dulunya adalah seorang perampok. Atau
Jazan yang pernah menjadi seorang ‘artis’. Namun akhirnya mereka bisa
meninggalkan akhlak jelek mereka dan menjadi ulama. Mereka qudwah kita
dalam mengubah akhlak yang tidak baik menjadi baik.
Dalam
mendidik, janganlah menyamakan wanita dengan laki-laki. Menyikapi
wanita tidak sama dengan menyikapi laki-laki, karena memang wanita
tidak sama dengan laki-laki. Sebagaimana Al-Qur’an telah mengisahkan
ketika istri Imran menginginkan diberi keturunan laki laki, namun yang
dilahirkan adalah perempuan. Allah berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 36)
Maka
ini adalah bantahan bagi emansipasi. Laki-laki berbeda dari wanita,
secara jasad dan lainnya. Oleh karena itu kepemimpinan/qowamah
membutuhkan kelembutan, lapang dada, kesabaran, kemudahan, kasih
sayang. Inilah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendidik istri-istri beliau. Imam An-Nasa’i telah mengumpulkan dalam kitab ‘Isyratun Nisa`,
mengenai rumah tangga Rasulullah. Jika kita mengambil teladan dari
beliau maka itu akan menjadi solusi bagi permasalahan rumah tangga kita.
Saling Berlemah Lembut
Allah azza wa jalla berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya.” (Ar-Rum: 21)
Ini ayat yang harus kita tadabburi. Dikatakan: litaskunuu ilaihaa. Bukan: ma’ahaa.
Berarti seorang suami tidak tenang kecuali kepada istrinya. Dan
sebaliknya istri pun tidak akan tenang kecuali kepada suaminya. Di sini
ada hubungan saling membutuhkan. Qowamah suami bukan berarti menjadikannya sembrono lantaran dia pemimpin. Akan tetapi walau suami sebagai qowam bagi istrinya, namun mereka tetap saling membutuhkan. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”
Maka
tinggal bagaimana suami itu mendidik istrinya agar dapat menjadi
perempuan shalihah, yang menjadi kenikmatan terbesar di dunia. Walaupun
seluruh dunia dimilikinya, namun jika tidak bersama istri yang
shalihah, maka tidak akan ada ketenangan. Meski apa saja yang
diinginkan telah didapatkannya, tapi sudah menjadi sebuah sunnatullah
bahwa sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah, yang ia dapat
tenang kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dari hadis Abu Hurairah)
Tentunya akhlak yang terbaik adalah kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Ibnu Majah dari hadis Ibnu Abbas)
Lantas
mengapa ada yang berlaku pada orang lain santun sekali, berbicara dan
berbuat dengan lembut -seperti istri berkata kepada orang lain dengan
lemah lembut- namun kepada suami atau istri sendiri akhlak ini
ditinggalkannya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ
“Saling berwasiatlah berbuat baik terhadap wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk.” (HR. Al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah)
Inilah kodrat wanita. Mendidiknya harus dengan halus dan lembut. Oleh karena itu dalam surat An-Nisa ayat ke-19, Allah azza wa jalla berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Ma’ruf
(patut) mencakup semua yang ma’ruf yang akan mengarah pada kebaikan.
Contohnya ada banyak dalam rumah tangga Rasulullah. Lihatlah bagaimana
sabarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi permasalahan rumah tangganya. Ini menjadi teladan bagi kita. Misalnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi kecemburuan istri beliau.
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ
نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ
فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي
بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ
فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ
أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ
الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى
الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ
الَّتِي كَسَرَتْ.
“Dari Anas, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di rumah salah seorang istri beliau. Lalu seorang istri beliau
lainnya mengirimkan sepiring makanan. Istri yang rumahnya sedang
ditempati oleh beliau pun memukul tangan si pembantu (yang membawakan
makanan). Maka jatuhlah piring itu sehingga terbelah. Rasulullah
kemudian mengumpulkan belahan piring tersebut lalu mengumpulkan kembali
makanan (yang berserakan) itu ke dalamnya sambil berkata, “Ibu kalian
sedang cemburu.” Lalu beliau menahan pembantu itu sampai beliau
dibawakan piring lain dari rumah istri yang sedang beliau tempati.
Piring yang betul beliau berikan kepada pemilik piring yang pecah. Dan
piring yang pecah beliau simpan di rumah istri yang memecahkan piring
tadi.” (HR. Bukhari)
Jika permasalahan seperti itu ada muncul di rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajar jika terjadi pada kita juga. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapinya.
Jika
istri sudah berusaha mentaati suami, maka ketika muncul suatu
permasalahan rumah tangga, janganlah suami mencari-cari kesalahan. Tapi
hendaknya ia melakukan introspeksi, karena permasalahan muncul juga
dari pemimpinnya sebagai penangung jawab. Oleh karena itu Allah dalam
akhir firman-Nya:
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa: 34)
Ini sebagai peringatan bagi suami jangan berlaku bughat
kepada istrinya. Ini juga mengandung makna tarhib bagi para suami
untuk tidak semena-mena pada istrinya atau mencari-cari kesalahan tanpa
alasan. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Saling Memahami dan Menasehati
Suatu
rumah tangga bisa baik tatkala suami dan istri saling memahami. Suami
harus memahami tabiat wanita secara umum, bahwa wanita berbeda dengan
laki-laki. Maka itu janganlah mengukur istri seperti laki-laki.
Hendaknya sang suami menjaga apa-apa yang menjadi ketidaksukaan
istrinya. Celah-celah yang menyebabkan permasalahan jangan diperbesar.
Akan tetapi harus saling memahami bahwa masing-masing penuh dengan
kekurangan. Inilah yang harus disadari dulu, agar dapat saling
memahami. Apalagi tabiat seorang wanita memang memiliki kekurangan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ
الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا
وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ
مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ
نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا.
“Aku
tidak melihat ada di antara wanita-wanita yang kurang akal dan
agamanya, yang lebih bisa menghanyutkan hati seorang laki-laki tegas,
daripada seorang dari kalian.” Mereka (para wanita itu) berkata,
“Apakah kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Bukankah persaksian wanita itu setengah dari persaksian
laki-laki?” Mereka berkata, “Benar.” Beliau berkata, “Maka itu termasuk
kekurangan akalnya. Bukankah kalau ia haid maka ia tidak shalat dan
tidak berpuasa?” Mereka berkata, “Benar.” Beliau berkata, “Maka itulah
salah satu kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri)
Kekurang akal wanita ini berdasarkan firman Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kesaksian wanita:
فَإِنْ
لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ
مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا
الْأُخْرَى
“Jika tak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang
seorang mengingatkannya.” (Al-Baqarah: 282)
Ini
isyarat bahwa tabiat wanita juga adalah mudah lupa. Di antaranya
adalah wanita mudah lupa dengan kebaikan suami. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا
مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ
النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ
وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
“Wahai
sekalian para wanita, bersedekahlah. Karena diperlihatkan kepadaku
bahwa kalangan wanita itulah penduduk neraka yang paling banyak.”
Mereka (para wanita itu) berkata, “Dengan sebab apakah wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak melaknat dan
mengingkari kebaikan suami.” (HR. Bukhari dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri)
Inilah
tabiat wanita. Oleh karena itu jika suami mendapati istriya demikian,
wajar saja, ini tabiat wanita. Jika ini terjadi maka suami harus bisa
lapang dada. Ia ingatkan dan nasehati dengan baik. Tabiat ini jangan
dilawan dan dikeraskan karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk
yang bengkok yang bisa patah. Dengan demikian, harus dinasehati dengan
pelan dan lemah lembut. Allah azza wa jalla berfirman:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (An-Nisa: 19)
Maka
misalnya ada suatu cacat pada tubuhya, atau suatu perangai yang tak
disukai, maka boleh jadi dibalik itu semua Allah jadikan kebaikan yang
besar. Janganlah membayangkan wanita yang kalian nikahi penuh
kesempurnaan, justru pasti ada kekurangan. Maka bersabarlah tatkala
menemukan yang kurang menyenangkan, karena Allah telah menyatakan
adanya kebaikan padanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Shahih Muslim dari hadis Abu Hurairah:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah
seorang pria mukmin membenci seorang wanita mukminah. Kalau ia
membenci suatu perangai dari wanita mukminah tersebut, maka ia akan
ridho dengan perangai lainnya.”
Misal
di kakinya ada cela, maka lihat yang lain yang lebih menyenangkan.
Jika ada akhlaknya yang kurang, maka lihat akhlak yang lain yang ada
kebaikan. Jika seorang laki-laki menemui satu perangai jelek istrinya,
lantas itu menyebabkan tertutupinya semua kebaikannya, maka itu sama
seperti kebiasaan wanita yang karena melihat satu saja keburukan
suaminya maka ia lalu melupakan seluruh kebaikan suaminya. Kalau ini
adalah tabiat wanita yang wajar, maka janganlah suami bertabiat seperti
wanita. Kita harus pahami bahwa kita tidak sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا النَّاسُ كَالإِبِلِ الْمِائَةُ لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيهَا رَاحِلَةً
“Manusia
itu tidak lain adalah seperti unta yang seratus. Dari yang seratus itu
hampir tidak ada yang enak menjadi tunggangan bepergian jauh.” (HR. Bukhari dari hadis Abdullah bin Umar)
Artinya, manusia tidak ada yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka perhatikanlah, jika kalian menemui kekurangan pada istri, Allah azza wa jalla memberikan tuntunan:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka.” (An-Nisa: 34)
Inilah
tuntunan Al Qur’an, bahwa ada tahapan jika terjadi suatu permasalahan,
agar rumah tangga tetap dipertahankan. Sungguh syaitan selalu mengajak
pada kerusakan. Sebelum jadi suami istri, syaithan mengajak mereka
berkhalwat atau pacaran. Apalagi dengan teknologi yang ada sekarang
seperti HP dan internet. Bahkan di rumahnya saja bisa berkhalwat
mengobrol berdua dengan lelaki. Lalu ketika sudah menjadi suami istri
yang sah, maka syaitan memisah suami dengan istri. Inilah keinginan
iblis. Apalagi dengan teknologi yang ada saat ini, yang hanya membuat
kisruh dan ruwet. Misalnya, hanya karena sms yang entah tersasar atau
bagaimana, malam-malam masuk ke HP si suami atau istri, terjadilah
salah paham. Dalam hal ini harus bisa saling memahami, saling terbuka,
jangan sampai hal seperti ini menyebabkan kecurigaan adanya
selingkuhan. Bukan tidak ada, kasus hampir terjadinya perceraian hanya
karena ‘sms nyasar’. Dari situ akhirnya cekcok menjadi semakin besar
karena adanya masalah-masalah sepele keluarga yang menumpuk tanpa
adanya saling memahami.
Demikianlah jika suami khawatir akan nusyuz istri. Sebaliknya, jika istri yang khawatir dengan sikap suami yang berpaling, ada tuntunannya juga. Allah azza wa jalla tidak langsung memerintahkan cerai, tapi bagaimana caranya agar bisa berdamai. Allah berfirman:
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ
بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa: 35)
Inilah tuntunan Al Qur’an yang indah sekali, bahwa damai itu penuh kebaikan, demi tetap terjaganya kehidupan rumah tangga.
Khidmah Istri pada Sang Suami
Saudara saudariku a’azzakumullah,
Seorang
wanita juga harus paham keadaan dirinya dan suaminya. Ketika wanita
diperintahkan taat kepada suami, ketaatan ini bukan untuk suaminya,
tapi untuk dirinya sendiri. Karena hikmah ketaatan ini adalah sebagai
ketaatan kepada Allah. Maka ini untuk dirinya sendiri. Ketaatan kepada
suami semata-mata karena ketaatannya kepada Allah. Dengan memahami ini
menjadi ringanlah bersikap taat pada suami. Lakukanlah dengan
keikhlasan, karena itu sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah.
Misalnya ketika memasak, mencuci, membereskan rumah, menyiapkan
keperluan suami, ia akan tetap tenang. Itu semua dilakukan dengan
keikhlasan karena bagian dari ketaatan kepada Allah. Sekalipun sedang
ada masalah dengan suaminya, tapi dengan menyadari hal ini, ia kemudian
tidak membiarkan suaminya kelaparan atau kehausan. Justru ia akan
dapat berlapang dada dan tetap taat kepada suami. Jika dia menyadari
bahwa jalan menuju surga adalah dengan berkhidmat kepada suami, maka
walaupun dalam keadaan sedang bermasalah dengan suami, dia tetap merasa
ringan melayani suami.
Hal ini adalah teladan dari para shahabiyat, yang salah satunya dikisahkan dalam Al Qur’an. Yaitu dalam asbabun nuzul surat Mujadalah. Mengenai kisah Khaulah binti Tsa’labah yang dizihar oleh suaminya.
عَنْ
خُوَيْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ ، قَالَتْ : فِي وَاللَّهِ وَفِي أَوْسِ
بْنِ الصَّامِتِ أَنْزَلَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلاَ صَدْرَ سُورَةِ
الْمُجَادِلَةِ ، قَالَتْ : كُنْتُ عِنْدَهُ ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا
قَدْ سَاءَ خُلُقُهُ ، وَضَجِرَ ، قَالَتْ : فَدَخَلَ عَلَيَّ يَوْمًا
فَرَاجَعْتُهُ فِي شَيْءٍ ، فَغَضِبَ ، وَقَالَ : أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ
أُمِّي ،ثُمَّ خَرَجَ ، فَجَلَسَ فِي نَادِي قَوْمِهِ سَاعَةً ، ثُمَّ
دَخَلَ عَلَيَّ ، فَإِذَا هُوَ يُرِيدُنِي عَلَى نَفْسِي ، قَالَتْ :
قُلْتُ : كَلاَّ وَالَّذِي نَفْسُ خُوَيْلَةَ بِيَدِهِ ، لاَ تَخْلُصُ
إِلَيَّ ، وَقَدْ قُلْتَ مَا قُلْتَ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
فِينَا بِحُكْمِهِ ، قَالَتْ : فَوَاثَبَنِي ، فَامْتَنَعْتُ مِنْهُ ،
فَغَلَبَتْهُ بِمَا تَغْلِبُ بِهِ الْمَرْأَةُ الشَّيْخَ الضَّعِيفَ ،
فَأَلْقَيْتُهُ تَحْتِي ، ثُمَّ خَرَجْتُ إِلَى بَعْضِ جَارَاتِي ،
فَاسْتَعَرْتُ مِنْهَا ثِيَابًا ، ثُمَّ خَرَجْتُ حَتَّى جِئْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ ،
فَذَكَرْتُ لَهُ مَا لَقِيتُ مِنْهُ ، فَجَعَلْتُ أَشْكُو إِلَيْهِ مَا
أَلْقَى مِنْ سُوءِ خُلُقِهِ ، قَالَتْ : فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : يَا خُوَيْلَةُ ، ابْنُ عَمِّكِ
شَيْخٌ كَبِيرٌ ، فَاتَّقِي اللَّهَ فِيهِ ، قَالَتْ : فَوَاللَّهِ مَا
بَرِحْتُ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ، فَتَغَشَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كَانَ يَغْشَاهُ ، ثُمَّ سُرِّيَ عَنْهُ ،
فَقَالَ : يَا خُوَيْلَةُ ، قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ جَلَّ وَعَلاَ فِيكِ
وَفِي صَاحِبِكِ ، قَالَتْ : ثُمَّ قَرَأَ عَلَيَّ : { قَدْ سَمِعَ
اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى
اللَّهِ } [المجادلة] ، إِلَى قَوْلِهِ : { وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ } فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
مُرِيهِ فَلْيُعْتِقْ رَقَبَةً ، قَالَتْ : وَقُلْتُ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ ، مَا عِنْدَهُ مَا يَعْتِقُ ، قَالَ : فَلْيَصُمْ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ ، قَالَتْ : فَقُلْتُ : وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ ، قَالَ : فَلْيُطْعِمْ
سِتِّينَ مِسْكِينًا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ ، فَقُلْتُ : وَاللَّهِ يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، مَا ذَلِكَ عِنْدَهُ ، قَالَتْ : فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَإِنَّا سَنُعِينُهُ
بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ ، قَالَتْ : فَقُلْتُ : وَأَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
سَأُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ ، فَقَالَ : أَصَبْتِ ، وَأَحْسَنْتِ ،
فَاذْهَبِي فَتَصَدَّقِي بِهِ عَنْهُ ، ثُمَّ اسْتَوْصِي بِابْنِ عَمِّكِ
خَيْرًا ، قَالَتْ : فَفَعَلْتُ.
Dari
Khaulah binti Tsa’labah, ia berkata: “Demi Allah, Allah telah
menurunkan awal surat Al-Mujadilah berkenaan dengan diriku dan Aus bin
Ash-Shamit (suaminya -pent.)” Khaulah berkata, “Suatu ketika aku sedang
bersamanya. Dan ia adalah seorang yang sudah sangat tua. Perilakunya
sudah tidak baik dan suka mengeluh.” Khaulah berkata, “Suatu hari ia
masuk menemuiku. Kemudian aku menyanggahnya dalam suatu perkara. Ia pun
marah dan berkata, “Bagiku, engkau adalah seperti punggung ibuku.”
Setelah itu dia keluar lalu duduk-duduk di tempat kumpul kaumnya
sebentar. Kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba ia
berkeinginan untuk berhubungan denganku.” Khaulah berkata, “Maka aku
katakan: Tidak, demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, jangan
dekati aku sedangkan engkau telah mengatakan apa yang engkau katakan,
sampai Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum tentang kita.” Khaulah
berkata, “Lalu ia menyergapku. Namun aku mengelak dan mengalahkannya
sebagaimana seorang perempuan mengalahkan seorang laki-laki tua yang
lemah. Aku pun mendorongnya jatuh. Lalu aku keluar menuju salah seorang
tetangga dan meminjam pakaian darinya, kemudian mendatangi Rasulullah.
Aku duduk di hadapan beliau dan menceritakan apa yang kualami. Aku
adukan kepada beliau keburukan perilaku suamiku terhadapku.” Khaulah
berkata, “Rasulullah kemudian mengatakan, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu seorang yang sudah sangat tua. Maka bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan dirinya.”
Khaulah berkata, “Demi Allah, aku terus saja seperti itu sampai turun
Al-Quran. Rasulullah pun mengalami keadaan berat saat mendapatkan
wahyu, kemudian terlepaslah keadaan tersebut dari beliau. Beliau lalu
berkata, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan Al-Quran berkenaan dengan dirimu dan suamimu.” Khaulah berkata, “Kemudian beliau membacakan kepadaku firman Allah:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ
“Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada
kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Al-Mujadilah: 1)
Sampai ayat:
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al-Mujadilah: 4)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Suruhlah ia memerdekakan seorang budak.” Khaulah berkata, “Aku katakan: Wahai Rasulullah, ia tidak memiliki budak yang bisa dimerdekakan.” Beliau berkata, “Kalau begitu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.”
Khaulah berkata, “Aku katakan: Wahai Rasulullah, demi Allah,
sesungguhnya ia adalah orang yang sudah sangat tua. Ia tidak dapat
berpuasa.” Beliau berkata, “Kalau begitu ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, (masing-masing) dengan satu wasq kurma.” Aku berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak memiliki hal itu.” Khaulah berkata: Rasulullah kemudian mengatakan, “Kami akan membantunya dengan satu ‘araq kurma.” Khaulah berkata, “Dan aku pun akan membantunya dengan satu ‘araq lagi.” Beliau berkata, “Engkau
benar dan engkau telah berbuat baik. Maka pergi dan bersedekahlah
dengannya untuk suamimu. Kemudian terimalah wasiat bersikap baik dengan
anak pamanmu itu.” Khaulah berkata, “Aku pun kemudian melakukan hal-hal tersebut.”
Maka lihat bagaimana seorang istri membantu beban suaminya. Separuh diyat zihar dibayar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan separuhnya dibayar oleh istrinya. Ini dalam rangka menyelamatkan
sang suami dari hukuman Allah. Maka bagaimana dalam kadaan biasa, tentu
sang istri mesti lebih berkhidmah kepada suami. Inilah yang perlu
disadari oleh para istri. Dan masih banyak teladan baik lainnya dari
para shahabiyat.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
“Wahai para wanita, bersedekahlah. Karena aku diperlihatkan bahwa penduduk neraka yang paling banyak adalah para wanita.” (HR. Bukhari)
Mendengar
ini maka Zainab istri Abdullah bin Mas’ud -yang lebih kaya daripada
suaminya- bersegera untuk membantu suaminya sebagai khidmat kepada
suami.
عَنْ أَبِي وَائِلٍ،
أَنَّ امْرَأَةَ بن مَسْعُودٍ، قَالَتْ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ
وَأَنَا فِي نِسْوَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَ:تَصَدَّقْنَ، وَلَوْ مِنْ
حُلِيِّكُنَّ، فَسَلْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنْ كَانَ إِنْفاقِي عَلَيْكَ وَعَلى بني أَخِي يُجْزِئُ
عَنِّي مِنَ الصَّدَقَةِ، وَإِلا أَنْفَقْتُهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟
فَقَالَ: إِنِّي أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلُهُ، فَسَلِيهِ أَنْتِ،
فَانْتَهَيْتُ إِلَى بَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ حَاجَتُهَا حَاجَتِي فَأَتَى
عَلَيْنَا بِلالٌ، فَقُلْنَا: يَا بِلالُ، أَقْرِئْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَّا السَّلامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ،
وَأَخْبِرْهُ أَنَّ لَنَا أَزْوَاجَنَا، وَبَنِي إِخْوَانِنَا إِنْ كَانَ
إِنْفاقُنا عَلَى أَزْوَاجِنَا وَبَنِي إِخْوَانِنَا يُجْزِئُ عَنَّا
وَإِلا أَنْفَقْنا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَدَخَلَ بِلالٌ فَأَخْبَرَهُ،
فَقَالَ:أَقْرِئْهُما السَّلامَ وَرَحْمَةَ اللَّهِ، وأَنْبِئْهُما أَنَّ
إِنْفاقَهُما عَلَى أَزْوَاجِهِمَا، وَبَنِي أَخَوَاتِهِما ضِعْفَيْنِ:
ضِعْفُ الصِّلَةِ، وَضِعْفُ الصَّدَقَةِ.
“Dari
Abu Wail, bahwasanya istri Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, Rasulullah keluar menemuiku dan beberapa wanita lain dari
kalangan Anshar. Beliau berkata, “Bersedekahlah walaupun dengan perhiasan kalian.
“Maka tanyakanlah Rasulullah: apakah kalau aku berinfak kepadamu dan
anak-anak saudaraku maka itu dapat menjadi ganti bersedekah? Kalau
tidak, maka aku akan berinfak di jalan Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya aku malu menanyakan hal ini kepada beliau. Maka engkau sajalah yang bertanya.” Lalu aku pergi ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ternyata ada seorang perempuan Anshar yang keperluannya sama dengan
keperluanku. Lalu datanglah Bilal kepada kami. Kami berkata, “Wahai
Bilal, sampaikanlah salam kami kepada Rasulullah. Dan beritahukanlah
kepada beliau: apakah kalau kami memberi nafkah kepada suami dan
anak-anak saudara kami, maka itu dapat menjadi ganti kami bersedekah?
Kalau tidak, maka kami akan berinfak di jalan Allah.” Bilal pun masuk dan memberitahukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Sampaikanlah
salam kepada keduanya. Dan beritahu bahwa memberi nafkah kepada suami
dan anak-anak saudara mereka, memiliki ganjaran dua kali lipat:
ganjaran menyambung tali kekerabatan dan ganjaran sedekah.”
Di
sini sebagai teladan bagi kita, walaupun suami bukanlah tanggung jawab
istri, tapi tatkala suami memang fakir maka istri –yang lebih kaya-
bermurah hati memberi kepada suami. Ini menjadi bakti seorang istri
kepada suami sekaligus komitmennya melaksanakan agama Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Janganlah lantaran si istri lebih kaya, dan kedudukan sosialnya lebih
tinggi, lantas menjadi kurang ajar kepada suami. Lihatlah shahabiyat yang sekalipun mempuyai harta lebih namun tetap santun kepada suaminya.
Hendaknya
suami dan istri benar-benar saling memahami. Istri memahami tanggung
jawab pada suami dan keharusan berkhidmah karena berkhidmah pada suami
adalah jalan menuju ridha Allah dan surga. Bahkan ada hal-hal yang
dilarang dilakukan oleh istri agar tetap dapat berkhidmah pada suami.
Seperti istri yang dilarang berpuasa sunnah karena suami. Sebagaimana
dalam hadits Aisyah yang menunda mengqadha puasa Ramadhan sampai
datangnya Sya’ban karena beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini perihal berkhidmah kepada suami. Kemudian jika ada suatu
permasalahan, maka kembalikanlah pada tuntunan Allah dan Rasulullah.
Allah I berfirman:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Oleh
karena itu, jika ada masalah sekecil apapun dalam rumah tangga maka
kembalikanlah kepada tuntunan Islam. Demikianlah hendaknya jika kita
memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika ini disadari dan
dilaksanakan maka ketenangan akan didapatkan dalam rumah tangga,
sehingga menjadi rumah tangga yang selalu dalam naungan Allah azza wa jalla dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wabillahittaufik. Wasshallallahu wasallamu ‘ala rasulillah.
http://almadinah.or.id/302-untaian-nasehat-untuk-suami-dan-istri.html
0 Comment:
Posting Komentar