Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan
telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah
disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan
sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Dalam
hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari
kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi
dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan
tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan
menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap
memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun
tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal
yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan
syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.
Manfaat Menikah
Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :
1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.
3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya):
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)
4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6.
Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan
yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih
sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.
Dan
masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang
syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan
antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para
wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian
telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah,
pent)”.
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman (artinya):
“Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi
pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah (Meminang)
Rasulullah bersabda:
“Apabila
seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka
jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka
lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)
Hadits
tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada
wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat
(berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang
yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya
diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak
berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.
Dalam hadits
Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku
bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang
mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud,
no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan
dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat
oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali
yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus
bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan
untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat
wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan
dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita
(HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi
peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang
ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk
ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas
(tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu,
yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent).
Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa
‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan
wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat
tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin
menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah.
Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
Diharamkan
meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang
meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi
orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau
telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam
riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah
dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu
Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya”
(Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang
laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits
tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas
pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan
menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka.
Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau
dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua
untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan
ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak
kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia
maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada
yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut.
Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya
yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan
dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah
didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga
mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim
untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama
muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara
muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang
saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan
jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan
ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang
disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan
oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan
lafadznya sebagai berikut :
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah.
Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami
berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal
usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada
yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah,
maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak
yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya,
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam
yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai
sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan
daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
(QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1.
Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang
sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang
diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau
karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh
jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita
seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang
syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau
yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria:
“Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu
lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah
diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima
nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul
Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz
yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz
Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah
dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam
Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid
telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan
tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti
pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam.
Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat
yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad
nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud
menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad,
pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada
3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan
dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan.
Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1.
Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan
tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya”
apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan
mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki
anda” padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa
dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau
menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan
dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka
tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah,
sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan
sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga
diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana
ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3.
Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya
tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab
terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk
memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para
wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali
bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh
bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang
laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah,
lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak,
kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian
sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian
pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu
kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris,
kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent),
kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil
(baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah,
shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam
Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan
para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah
menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini
diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)
Walimah
asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu.
Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﱂﻭﺃ_ _ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak
dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara
makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai
lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan
walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah
fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang
dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki
penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut
jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan
walimah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
‘Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa
dia telah menikah
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping
hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan
kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas
dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang
menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup
aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang
bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang
juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang
menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita
dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa
faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka
bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah
terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa
banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah
bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)
“Makan
dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan
dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu
berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1.
Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan
berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya,
berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah
pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah
baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud
dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan
dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah
menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan
pelakunya harus diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5.
Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr
(minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi
dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat
tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah
hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi
orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda
antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian
dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan
Tirmidzi menghasankannya).
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/munakahat-keluarga/bekal-bekal-menuju-pernikahan-sesuai-sunnah-nabi/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comment:
Posting Komentar